Sehari-hari, rumah keluarga Egeten di kawasan Wanea, Manado, Sulawesi Utara, biasanya sepi. Belakangan ini, rumah sederhana itu terus kebanjiran tamu, yang seolah tiada habisnya. Mereka datang dengan satu tujuan: ingin bertemu putra semata wayang Marthi Egeten-Vaitha Rengku, Rizky P. Egeten alias Kiki, yang kini menjadi favorit juara acara Idola Cilik.
Sejak menjadi finalis kontes Idola Cilik yang ditayangkan RCTI, Kiki memang makin beken. Penampilan bocah 11 tahun itu di layar kaca saban Ahad telah memikat jutaan pemirsa, terutama anak-anak sebayanya. Perlahan-lahan Kiki pun menjelma menjadi seorang idola.
Itu membuat hari-hari siswa SD tersebut juga berubah. Kiki sering kali tak sempat makan atau tidur demi melayani tamu dan kerabat yang datang silih berganti. “Kadang-kadang dia suka ngambek dan tidak mau ketemu orang,” kata Marthi, ayah Kiki, yang ditemui Tempo di Hotel Twin Plaza, Jakarta Barat, Kamis pekan lalu.
Mendadak tenar lantaran ikut kontes Idola Cilik juga dialami finalis lainnya. Septian Putra Manuel, misalnya, finalis asal Malang, begitu populer di lingkungan tempat tinggalnya di Perumahan Alam Hijau Lestari, Randuagung, Singosari, Malang, Jawa Timur. “Oh, Septian yang ikut Idola Cilik ya? Rumahnya di sebelah sana,” ujar tiga anak muda yang nongkrong di ujung jalan menuju rumah Septian.
Menurut tiga anak muda itu, mereka baru kenal Septian setelah bocah 12 tahun tersebut sering tampil di televisi dalam acara Idola Cilik. “Dia warga baru di sini,” kata mereka tentang putra pasangan Iskandar Simangunsong dan Yuliana Manurung itu.
Iyan Kusnadiyansyah alias Iyan juga mendadak masyhur. Sejak ikut kontes Idola Cilik, Iyan kebanjiran banyak hadiah. Saat naik kendaraan umum atau pergi ke pasar banyak orang yang mengenalnya. “Pipi aku dicubit sampai merah,” ujar anak 9 tahun itu seraya terkekeh.
Selain itu, Iyan menambahkan, sejak sering muncul di televisi, teman-teman di sekolahnya juga berubah. Menurut dia, semula banyak teman sekelasnya yang tak peduli padanya, tapi sekarang mereka berebut ingin berteman dengannya.
Ya, menjadi beken kini memang tengah dinikmati para finalis Idola Cilik. Sebagai sebuah program reality show, acara ini memang cukup menghibur. Boleh dibilang, Idola Cilik lebih menyenangkan ketimbang kontes serupa lainnya. Salah satu kekuatan acara ini adalah tim komentator yang dikomandani Ira Maya Sopha, penyanyi cilik era 1970-an. Ira cukup mengemong para peserta yang rata-rata masih bocah itu.
Ira, misalnya, dengan panggilan “sayang” kepada setiap kontestan bisa memuji dengan pas. Kadang ia juga menegur peserta yang kehilangan spontanitas khas anak-anak. Pada kesempatan lain, Ira dengan anggun memberi semangat kepada peserta yang bete sambil membesarkan hati bahwa kalah-menang bukan masalah.
Menurut produser acara itu, Nia Soeroso, program ajang pencarian bakat menyanyi itu dibuat untuk memunculkan artis cilik baru yang akan menggantikan generasi Sherina dan Tasya. “Kami mau memunculkan penerusnya biar anak-anak punya idola yang seumuran mereka dan tidak cuma mengidolakan penyanyi dewasa,” katanya.
Menurut Nia, program reality show itu juga dikonsep lebih menarik agar tak mandek seperti pendahulunya, Bintang Cilik. Usia peserta dinaikkan sehingga paling muda 8 tahun. Penentuan juara juga tak lagi di tangan juri, melainkan lewat perolehan dukungan SMS pemirsa. Lalu, “Karena acara itu juga sebagai program hiburan, maka pesertanya harus bisa tampil prima,” ujarnya. “Sebelum tampil, anak-anak ini harus mengikuti sesi latihan sejak Jumat hingga menjelang pentas pada Minggu.”
Memang, untuk menjadi idola, anak-anak yang masih bau kencur itu mesti menjalani sesi latihan nan melelahkan. Jumat, para finalis itu berlatih olah vokal di bawah bimbingan personel Elfa’s Singers, Agus Wisman. Esoknya, mereka berlatih tari dan gerak bersama koreografer Johan Jafar. Terkadang kedua sesi latihan itu dijalani dari pagi hingga sekitar pukul 10 malam. Di sela-sela itu, mereka juga kerap mengikuti sesi psikologi untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka.
Demi mengikuti serangkaian latihan itu, para finalis Idola Cilik terpaksa meninggalkan sekolah mereka. Selama ini RCTI yang membuatkan surat izin bagi mereka. Menurut Nia, sejauh ini semua sekolah anak-anak itu mendukung. Selain itu, RCTI juga menanggung biaya perjalanan dan penginapan para finalis serta walinya yang datang dari luar Jakarta. RCTI juga menyiapkan hadiah beasiswa bagi para juara. Selain itu, para finalis akan masuk dapur rekaman untuk pembuatan album Idola Cilik.
Begitulah. Selain mendadak tenar, sejumlah kerepotan mewarnai anak-anak yang masih belia itu untuk menjadi idola. Kiki, misalnya, sejak ikut kontes Idola Cilik, saban akhir pekan ia dan orang tuanya terbang dari Manado ke Jakarta. Menurut Marthi, ini membuat kegiatan sekolah anaknya memang sedikit terganggu, meski pihak sekolah mendukung.
Sampai di Jakarta, Kiki harus mengikuti sesi latihan dan serangkaian kegiatan lainnya. Kadang semua kegiatan itu baru kelar pukul 11 malam. Sadar akan padatnya aktivitas sang anak, Marthi pun menyediakan vitamin dan suplemen untuk menjaga kebugaran Kiki.
Kerepotan juga dialami Iyan. Ia meninggalkan kegiatan sebagai pengamen demi menggapai impian menjadi penyanyi terkenal dan membantu ibunya, seorang buruh cuci pakaian. Siswa SD yang tinggal di rumah singgah di bilangan Rawasari, Jakarta Pusat, itu berlatih menyanyi pagi, siang, dan sore di ruang keluarga sekaligus kamar tidurnya.
Menurut ibunya, Rubiani alias Nurfaindah, Iyan sering kecapekan. Kaki dan tangan pegal sudah menjadi langganan anaknya sepulang dari sesi latihan setiap Jumat dan Sabtu. “Pegal ya, Ma,” begitu Rubiani menuturkan keluhan anaknya. Kalau sudah begitu, Rubiani biasanya langsung membalurkan bawang untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita Iyan.
Sayangnya, perjuangan berat Iyan harus terhenti pekan lalu. Ia menerima rapor merah alias tereliminasi dari pentas Idola Cilik. “Aku kepikiran terus kemarin kalah,” katanya pendek. Saat ditemui Tempo pada Rabu pekan lalu, ia baru saja pulang dari klinik dokter. Menurut ibunya, Iyan terserang demam dan menjelang tidur ia selalu bilang sedih tak bisa bermain lagi bersama teman-teman Idola Cilik yang lainnya.
Boleh jadi, apa yang dialami Iyan hanyalah sebuah kasus, sebab para finalis Idola Cilik yang lain boleh dibilang asyik-asyik saja. Septian, misalnya, masih bisa membagi waktu antara sekolah dan latihan menyanyi. Biasanya, sepulang sekolah pada pukul 15.00, ia mengerjakan tugas sekolahnya. Setelah itu, Septian berlatih menyanyi sekitar satu jam.
Menurut ibunya, Yuliana Manurung, Septian tak melakukan persiapan khusus untuk mengikuti acara Idola Cilik. Yuliana sengaja tak menyuruh anaknya banyak berlatih menyanyi, karena khawatir Septian akan merasa tertekan. “Kami khawatir mentalnya akan jatuh kalau terlalu dipaksakan,” katanya.
Finalis lainnya, Angelica Martha Pieters, juga tak ada masalah. Sejak awal Angel--nama sapaan finalis berusia 10 tahun asal Jakarta ini--sudah diberi pemahaman tentang kontes yang diikutinya oleh orang tuanya bahwa menang-kalah bukan masalah. Menurut orang tuanya, Denny Pieters, Angel yang kerap menjuarai sejumlah festival menyanyi itu pun bisa mengikuti Idola Cilik tanpa beban.
Produser Eksekutif Idola Cilik Maria E. Febryani menyatakan bahwa membuat sebuah ajang kompetisi bagi anak-anak memang rentan bagi mental pesertanya. Karena itu, sejak awal acara itu digelar, pihaknya telah menggandeng psikolog untuk mendampingi para peserta. Menurut Maria, psikolog itu kerap memberikan wejangan agar mereka berbesar hati meski harus tereliminasi. “Sejak awal kami juga meminta para orang tua peserta untuk tidak jungkir-balik hingga menjual barang segala untuk kepentingan anaknya mendapat SMS terbanyak,” Maria menerangkan.
Psikolog anak Anna Surti Ariani menyatakan, selain kesenangan para peserta, pihak penyelenggara acara itu juga mesti menyampaikan repotnya persiapan manggung dan menjalani hidup keseharian sebagai idola cilik. “Itu penting agar tak ada fantasi yang salah soal ketenaran,” alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu menjelaskan.
Masalahnya, tutur Anna, belakangan ini banyak yang salah kaprah melihat ketenaran dan menyanyi lebih penting ketimbang belajar. Bagi dia, itu tentu berbahaya karena anak-anak akan berpikir pendek: mencari kesuksesan dengan menjadi penyanyi atau artis ketimbang belajar dan menjadi pintar. “Bagaimanapun, tanggung jawab utama anak tetaplah sekolah dan belajar,” katanya. “Mau pilih mana, anak pintar tapi tidak tenar atau anak tenar tapi tidak pintar?” OKTAMANDJAYA WIGUNA, YOPHIANDI, BIBIN BINTARIADI (MALANG)
Mereka Bicara Idola
Nia Soeroso, produser Idola Cilik: Idola Cilik dibuat untuk memunculkan artis cilik baru yang akan menggantikan generasi Sherina dan Tasya yang telah beranjak dewasa. Kami mau memunculkan penerusnya agar anak-anak punya idola yang seumur mereka dan tak cuma mengidolakan penyanyi dewasa.
Ira Maya Sopha, mantan penyanyi cilik dan komentator Idola Cilik: Saya tak mempermasalahkan lagu-lagu dewasa yang dinyanyikan para bocah. Bagaimanapun, acara Idola Cilik ada sisi bisnis dan hiburannya. Lagu yang ear-catching lebih bisa diterima masyarakat. Di acara ini para peserta juga menyanyikan lagu anak-anak. Ini sebagai ajang mengenalkan lagu anak-anak yang kini semakin krisis.
Iyan Kusnadiyansyah alias Iyan, finalis Idola Cilik: Sejak ikut Idola Cilik banyak yang memberi hadiah. Waktu naik kendaraan umum atau pergi ke pasar banyak yang mengenalku. Pipi aku dicubit sampai merah. Teman-teman di sekolah juga berubah, yang tadinya tak mengacuhkan dan jahat sama aku, sekarang malah berebut ingin berteman denganku. Tapi, aku kepikiran terus kemarin kalah (tereliminasi dari Idola Cilik--Red.)
Rizky P. Egeten alias Kiki, finalis Idola Cilik: Aku ikut Idola Cilik karena ingin jadi penyanyi terkenal.
Anna Surti Ariani, psikolog anak: Masalahnya, belakangan ini banyak salah kaprah yang melihat ketenaran dan menyanyi lebih penting ketimbang belajar. Itu tentu berbahaya, karena nantinya anak-anak akan berpikir pendek: mencari kesuksesan dengan menjadi penyanyi atau artis ketimbang belajar dan menjadi pintar. Bagaimanapun, tanggung jawab utama anak tetaplah sekolah dan belajar. Sekarang mau pilih mana, anak pintar tapi tidak tenar atau anak tenar tapi tidak pintar?
OKTAMANDJAYA, YOPHIANDI
http://www.korantempo.com/korantempo/cetak/2008/04/13/Laporan_Utama/index.html